The WINTER is Coming? Wajar Presiden Jokowi Gelisah Soal Neraca Transaksi Berjalan


Wajar Presiden Jokowi Gelisah Soal Neraca Transaksi Berjalan

October 31, 2018




Presiden Jokowi dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Hotel Fairmont. (Foto: Dok. Nusantaranews)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sejak kuartal IV tahun 2011 hingga 2018, neraca transaksi berjalan atau current account Indonesia tidak pernah mengalami surplus. Dengan kata lain, sektor perdagangan tidak pernah lagi memberikan sumbangan. Sebaliknya, justru selalu memakan devisa.

Situasi ini disebut dengan istilah defisit neraca transaksi berjalan atau CAD (current account deficit). Dan diprediksikan kondisi CAD nasional pada kuartal III-2018 tingkat defisitnya akan semakin membesar.

Indikasi paling sederhana dapat dilihat dari sektor perdagangan yang terus merugi. Sebagai contoh pada sepanjang kuartal III-2018, neraca perdagangan defisit mencapai US$ 2,72 miliar. Angka tersebut jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yaitu US$ 1,37 miliar.

Wajar jika kemudian Presiden Joko Widodo pada Selasa (31/10/2018) mengumpulkan para menterinya untuk rapat selama tiga jam. Sudah sepatutnya, Jokowi kemudian gelisah dengan situasi defisit neraca transaksi berjalan yang diperkirakan pada kuartal III-2018 akan terbendung.


Sejumlah menteri memilih bungkam setelah mengikuti rapat selama tiga jam tersebut. Kecuali Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Bambang Brodjonegoro.

Kepada wartawan, Bambang menjelaskan dalam rapat besar itu, intinya membahas mengenai current account atau neraca transaksi berjalan.


“Highlight-nya bagaimana memperkuat current account untuk jangka pendek menengah,” kata Bambang di Istana Negara, Jakarta, Rabu (31/10).

“Kita tadi ngomongin current account jadi lebih ke TKDN (tingkat kandungan dalam negeri), B20, lebih ke sana,” tandasnya.
https://nusantaranews.co/wajar-presiden-jokowi-gelisah-soal-neraca-transaksi-berjalan/


Sri Mulyani Akui Transaksi Berjalan Jadi Titik Lemah Ekonomi

Senin, 03/09/2018 20:38 WIB

 
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku fundamental makroekonomi masih lemah seiring melebarnya defisit transaksi berjalan. (CNNIndonesia/Safir Makki)


Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku fundamental makroekonomi masih lemah seiring melebarnya defisit transaksi berjalan. Bahkan, menjadi titik lemah Indonesia yang selalu dilihat pelaku pasar.


Ia mengatakan selama ini pemerintah tak pernah menganggap puas dengan posisi fundamental makroekonomi Indonesia, terlebih di tengah tekanan global seperti saat ini. Pemerintah cenderung fokus memperbaiki titik lemah saat ini, yakni defisit transaksi berjalan.


Data Bank Indonesia per akhir kuartal II 2018 menunjukkan transaksi berjalan mengalami defisit mencapai US$8 miliar atau setara 3 persen terhadap Produk Domestik bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II 2014 yang saat itu 4,3 persen terhadap PDB.


"Kalau menghadapi situasi eksternal, kami tidak bisa mengatakan fundamental kuat jadi tidak melakukan apa-apa, yang kami lihat adalah melihat ke pondasinya. Mana faktor yang dianggap market sebagai sumber paling lemah, selama ini kan dianggapnya dari neraca berjalan," jelas Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (3/8).


Ia juga mengakui defisit transaksi berjalan dan neraca pembayaran secara keseluruhan merupakan momok atas rentannya Indonesia terhadap sentimen eksternal.


Pasalnya, Indonesia jadi tidak bisa memupuk devisa untuk menghalau depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang kini sudah mencapai 9 persen. Alih-alih menabung, Indonesia malah mencatat pengurasan devisa US$13,68 miliar sejak awal tahun.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180903195810-532-327307/sri-mulyani-akui-transaksi-berjalan-jadi-titik-lemah-ekonomi


Jonan: Neraca Perdagangan Defisit Karena Harga Minyak Tingg

17/09/2018, 22:11 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan Indonesia sebesar 1,02 miliar dollar AS pada Agustus 2018. Defisit tersebut disumbang sebagian besar disebabkan oleh sektor migas sebesar 1,6 miliar dollar AS. Adapun sektor non-migas mengalami surplus sebesar 639 miliar dollar AS. 


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, besarnya defisit neraca perdagangan dari sektor migas disebabkan karena kenaikan harga minyak dunia. 


"Neraca perdagangan pasti minus karena harga impor minyaknya tinggi dan ekspornya juga tinggi. Tapi secara nilai pasti kalah. Indonesia Crude Price (ICP) kita sesuai asumsi APBN di awal 2018 sebesar 48 dollar AS per barel. Sekarang sudah sekitar ICP 70 dollar AS per barel," ujar Jonan dalam keterangan tertulisnya, Senin (17/9/2018). 


Senada dengan Jonan, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan faktor dibalik kondisi neraca perdagangan migas, terlebih penuruan ekspor migas. 


"Ekspor turun iya, karena ada blok yang tadinya milik asing sekarang punya Pertamina. Kedua, penurunan produksi 30 ribu barel per day. Harusnya impor turun, tapi naiknya impor tersebut karena karena ada kegiatan ekonomi yang naik," kata Archandra. 


Kementerian ESDM memproyeksikan neraca keuangan negara sektor ESDM mengalami surplus sebesar Rp91,4 triliun. Proyeksi surplus tersebut didapat dari selisih penerimaan sektor ESDM dibandingkan subsidi energi, dan jauh lebih besar dibandingkan yang terdapat dalam APBN 2018. 


"Sebenarnya di APBN, surplus penerimaan migas dan minerba dibanding subsidi energi total estimasinya sebesar Rp62,1 triliun. Sekarang, outlook surplusnnya naik sekitar 50 persen, jadi sekitar Rp91,4 triliun," kata Jonan. 


Jonan merinci berdasarkan proyeksi saat ini, penerimaan sektor migas dan minerba hingga akhir tahun nanti diperkirakan sebesar Rp240,3 triliun atau lebih besar dari target APBN 2018 yang dipatok sebesar Rp156,7 triliun. Sementara itu, total subsidi energi pada 2018 diproyeksikan sebesar Rp 148,9 triliun. Angka ini mengalami kenaikan dari penetapan APBN 2018 yang sebesar Rp 94,6 triliun.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/17/221100326/jonan--neraca-perdagangan-defisit-karena-harga-minyak-tinggi

Bank Indonesia: 
Neraca Defisit karena Impor Infrastruktur

Rabu 04 Jul 2018 05:30 WIB


Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Mirza Adityaswara (kanan) dan Erwin Rijanto (kiri) bersiap memberikan keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur di kantor pusat BI, Jakarta, Jumat (29/6).

Foto: Republika/Prayogi



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Melebarnya defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia hingga pertengahan kuartal II/2018 tidak menunjukkan ekonomi Indonesia sedang overheating atau bertumbuh melebihi kapasitasnya.


Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara saat bertemu dengan pimpinan media massa di Jakarta, Selasa (4/7), mengatakan meningkatnya impor pada Mei 2018 juga karena kebutuhan pembangunan untuk ekonomi jangka panjang.


Mirza mengakui defisit neraca perdagangan Mei 2018 sebesar 1,52 miliar dolar AS dapat menambah defisit transaksi berjalan yang diperkirakan di atas 2,5 persen. Namun jumlahnya, kata Mirza, tidak melebihi tiga persen dari Produk Domestik Bruto, pada kuartal II 2018.


Sepanjang Januari hingga Mei 2018, defisit neraca perdagangan sebesar 2,38 miliar dolar AS. Dalam impor Januari-Mei 2018 itu, kata Mirza, terdapat impor untuk kebutuhan ekonomi jangka panjang yang antara lain adalah impor untuk pembangunan infrastruktur empat miliar dolar AS, impor pertahanan 1,1 miliar dolar AS, dan beras 400 juta dolar AS. "Jadi sebenarnya neraca perdagangan Januari-Mei yang defisit, kalau dikeluarkan impor infrastruktur di mana untuk pembangunan jangka panjang, neraca perdagangan indonesia itu surplus," ujar Mirza.


Mirza mengatakan dengan asumsi itulah, meskipun defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan meningkat, ekonomi Indonesia belum "overheating".


Selain itu, jika melihat indikator lain, seperti pertumbuhan kredit perbankan yang hanya naik 10,2 persen (yoy) per Mei 2018 dan 2,9-3 persen (ytd), ekonomi Indonesia masih dalam berproses untuk pulih, bukan proses yang menunjukkan agresivitas pertumbuhan.


"Kondisi ini berbeda dengan semester I/2013, saat itu impor tinggi, pertumbuhan kredit tinggi di atas 20 persen, harga properti juga tinggi. Jadi situasi semester I/2013 mungkin ekonomi yang sedang 'overheat'. Tapi sekarang tidak," kata Mirza.


Bank Sentral memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun ini akan tumbuh 5,2 persen (yoy). Dengan melebarnya defisit neraca perdagangan, Mirza memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan kuartal II di atas 2,5 persen PDB, tapi tidak melebihi tiga persen PDB. Defisit transaksi berjalan kuartal I/2018 tercatat sebesar 2,15 persen PDB.


Sementara itu, Pemerintah berencana untuk lebih selektif dalam melakukan impor. Hal itu guna memperbaiki neraca transaksi berjalan yang masih mengalami defisit. Untuk diketahui, neraca transaksi berjalan defisit sebesar 2,1 persen terhadap PDB pada kuartal pertama 2018.


"Kita akan mulai meneliti kebutuhan impor, apakah itu memang betul-betul yang dibutuhkan untuk perekonomian Indonesia dan secara selektif akan meneliti siapa-siapa yang membutuhkan apakah itu dalam bentuk bahan baku ataupun barang modal," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di kompleks Parlemen, Jakarta pada Selasa (3/7).


Menkeu menjelaskan, pemerintah bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan akan terus mewaspadai kondisi yang terkait dengan dinamika nilai tukar maupun dari keseluruhan perekonomian. Salah satu hal yang dicermati adalah defisit neraca transaksi berjalan.


Oleh karena itu, pemerintah akan berkoordinasi untuk bisa memperbaikinya dengan mendukung ekspor dan mendorong pariwisata sebagai kegiatan yang bisa menghasilkan devisa untuk negara.


Hal itu menjadi respons pemerintah atas tren pelemahan rupiah yang terus terjadi meski BI telah menaikkan tingkat suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate hingga menjadi 5,25 persen.
https://republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/18/07/04/pbb1s6377-bi-neraca-defisit-karena-impor-infrastruktur

Rezim impor komoditas pangan terus berlanjut
Jumat, 23 Maret 2018 / 11:42 WIB 


ILUSTRASI. Operasi pasar bawang putih



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) nampaknya masih melanjutkan rezim impor pangan yang tak berkesudahan. Hal ini menunjukkan kalau pemerintah saat ini masih belum mampu mewujudkan kedaulatan dan swasembada pangan di Tanah Air. 


Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, rezim impor pangan berlanjut lantaran produksi dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan. "Sebenarnya tidak ada yang salah dengan impor, tapi pemerintah harus berupaya juga mengurangi, bukan malah terus bertambah seperti sekarang," ujarnya kepada KONTAN, Kamis (22/3). 


Dia mengatakan, dibukanya impor beras sebanyak 500.000 ton tahun ini terjadi lantaran produksi masih kurang. Tak pelak, harga beras pun naik. Kondisi itu berbanding terbalik dengan klaim dari Kementerian Pertanian (Kemtan) yang mengatakan produksi beras mengalami surplus. 


Selain impor beras, pemerintah juga membuka keran impor bawang putih sebanyak 450.000 ton di tahun 2018 ini. Namun impor bawang putih ini menyulut polemik lantaran tidak dapat menekan harga di pasar. Saat ini rata-rata harga bawang putih di tingkat konsumen Jakarta mencapai Rp 40.721 per kilogram (kg). Jauh lebih tinggi dari harga di distributor Rp 18.000 per kg. 


Demikian juga dengan impor garam. Kemdag telah mengeluarkan Surat Persetujuan Impor (SPI) garam industri sebesar 2,37 juta ton hingga kuartal pertama ini. Target impor garam pada tahun 2018 ini sebesar 3,7 juta ton. Garam yang diimpor merupakan garam kebutuhan industri. 

Impor garam terus berlanjut lantaran produksi garam dalam negeri tak kunjung naik. Selain kuantitasnya, kualitas garam dalam negeri juga tidak bisa dipakai untuk bahan baku industri. Pada tahun 2017 lalu produksi garam hanya 1,11 juta ton dari kebutuhan garam nasional 4 juta ton.


Kemdag juga telah mengeluarkan izin impor gula mentah (raw sugar) sebanyak 1,8 juta ton tahun ini. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan gula industri yang diprediksi mencapai 3,6 juta ton.
https://investasi.kontan.co.id/news/...erus-berlanjut

------------------------------------

Lhaaa masalahnya dibikin Pemerintah sendiri kok ... contoh yang nyata itu misalnya jor-joran bangun infrastruktur tanpa memperhatikan keuangan Negara; 

Lalu impor minyak yang besar, tapi giliran mau dinaikkan agar defisitnya nggak terlalu besar, eeehhhh malahan dibatalkan sehingga bikin malu si Jonan. 

Dan hanya di zaman rezim Jokowi ini para punggawanya punya hobi impor. Apa saja di impor, sampai cabe dan telor serta garam pun di impor, bahkan baju bekas! Bijimana Neraca Perdagangan nggak jebol? Gitu masih pingin 2 periode? Alamak!

:wow




























MNC VISION| AGEN RESMI MNC VISION| PAKET MNC VISION| DAFTAR MNC VISION| MNC VISION BANTEN| PAKET MNC VISION ONLINE| PORTAL BANTEN| NASHCOM| MNC VISION BANTEN
https://www.kaskus.co.id/thread/5bda596f54c07ae0228b4567/the-winter-is-coming-wajar-presiden-jokowi-gelisah-soal-neraca-transaksi-berjalan?goto=newpost

No comments:

Post a Comment